Thursday, June 19, 2008

HIKMAH RIHLAH RA'SUL BAR

Pada Hari Minggu tanggal 11 mei 2008, Ibu-ibu melalui MTM (Majlis Taklim Al-Muttaqin) mengadakan Rihlah menyusuri sejarah ke kawasan yang disebut Ra’sul Bar (ujung daratan), salah satu tempat wisata di Mesir yang terletak di pesisir provinsi Dameyatte (dimyat).
Perjalanan yang dari Cairo ditempuh 4 jam ini dipandu oleh ust Aep Saipullah. Dijelaskan bahwa kawasan ini merupakan pertemuan antara sungai Nil yang panjangnya 6659 km dengan laut. Di lokasi itu kita bisa melihat pemandangan pertemuan antara air asin di laut dan air tawar dari sungai nil. Hal ini seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an : “MARAJAL BAHRAINI YALTAQIYAAN, BAINAHUMAA BARZAHULLAAYABGIYAAN” (QS, Ar-Rahman : 19-20), “Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya terdapat batas yang tidak dilampaui masing-masing”.
Firman Allah swt ditempat lain mempunyai arti: “Dan Dialah yang mempertemukan dua laut; yang ini tawar lagi segar, dan yang ini asin lagi pahit. dan Dia menjadikan di antara keduanya terdapat batas dan penghalang yang tidak terlampaui”. QS,25:53
Dikatakan bahwa, dalam beberapa kitab tafsir disebutkan bahwa yang dimaksud ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tidak bercampur airnya ini adalah lokasi di muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut.
Hal seperti ini dijelaskan oleh ilmu dan penelitian moderen, bahwa gejala adanya batas antara dua air laut dan air darat yang bertemu di satu tempat disebabkan masing-masing memiliki (mempertahankan) temperature, salinitas (kadar garam) maupun densitas (kekentalan) yang berbeda. Dengan makna yang setara bahwa keadaan air laut yang satu dengan lainnya tidak saling mempengaruhi, walaupun keduanya bertemu di satu tempat, karena adanya batas di antara pertemuan dari dua air tersebut.
Penjelasan guide kita selanjutnya adalah, tentang adanya beberapa ulama tafsir yang mengatakan bahwa tempat tersebut juga diyakini sebagai lokasi kisah bertemunya nabi Musa dan hamba Allah yang shaleh, yaitu (Nabi) Khidhir.
Kisah ini berkaitan dengan Nabi Musa AS yang ketika itu memiliki kedudukan dan derajat agung di kalangan Bani Israil. Sebagai nabi beliau banyak mengajarkan sejumlah ilmu kepada masyarakat, dan mereka pun merasa kagum dengan kesempurnaan ilmunya.
Rasulullah Muhammad bin Abdullah SAW pernah bersabda: “Suatu saat Musa as tampil berkhutbah di depan Bani Israil, lalu ditanya tentang siapakah orang yang paling dalam ilmunya? Musa pun menjawab “saya”, maka Allah kemudian menegurnya karena tidak menasabkan (menyebutkan) pengetauannya itu kepada Allah. Lalu Allah mewahyukan (memperingati) kepadanya (Musa) bahwa “Aku (Allah) memiliki hamba yang berada di pertemuan dua lautan, dan dia (hamba itu) adalah orang yang paling dalam ilmunya”. Nabi Musa AS bertanya “Ya Tuhanku, bagaimana aku dapat bertemu denganya?” Allah berfirman “Ambilah seekor ikan, lalu tempatkan ia di dalam wadah yang terbuat dari daun kurma, lalu di tempat mana engkau kehilangan ikan itu, maka disanalah dia (hamba yang Shaleh) berada”.
Perjalanan ini patut direnungi bahwa ternyata Allah tidak meridloi sikap yang merasa berilmu atau merasa paling tinggi derajatnya. Musa yang seorang nabi itu ternyata ditegur oleh Allah, dan semua ilmu serta derajat hendaknya selalu dinisbahkan kepada-Nya, Yang Maha Agung.
Ini awal kisahnya. Nabi Musa as kemudian beranjak mencari hamba Allah itu, sambil ditemani seorang murid pendamping dan membawa bekal berupa makanan serta seekor ikan (yang telah mati, boleh jadi juga telah dimasak, karena ia ditempatkan di wadah yang terbuat dari daun kurma).
Mereka berdua membawa ikan sebagai bekal dalam perjalanan, seraya dikatakan kepadanya, “Jika ikan itu hilang, maka di situlah hamba-Ku tinggal.” Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya):”Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60).
Ketika Musa dan muridnya tiba pada pertemuan dua laut, mereka pun lupa akan ikan yang mereka bawa atas perintah Allah. Ikan itu jatuh ke laut dan menghilang. Lalu, ketika mereka telah menjauh dari tempat itu, mereka merasa lapar dan lelah. Musa pun berkata "Keluarkanlah makanan kita, perjalanan kita sungguh melelahkan”, saat itu baru diketahui hilangnya ikan, yaitu ketika mereka akan makan siang.
Musa berkata kepadanya, "Apa yang terjadi ini adalah menunjukkan tentang apa yang sedang kita cari, yaitu untuk memperoleh suatu hikmah dan sebagai tanda yang diajarkan Allah Taala". Mereka pun berbalik kembali meniti jalan semula yang telah dilalui.
Pembantu itu berkata, "Ingatkah tuan ketika kita tiba di sebuah batu tempat kita berlindung tadi? Aku lupa ikan kita. Tentu kelupaanku tersebut hanya datang dari ulah setan. Dan ikan itu pun kini telah berlalu di dalam laut. Aku sendiri sungguh heran dengan kelupaanku ini!"
Perjalanan kembali ke tempat hilangnya ikan ditempuh Nabi Musa as bersama muridnya, dengan mengikuti rute perjalanannya semula. Langkah demi langkah, akhirnya sampai ke tempat dimana ikan itu mencebur ke laut. Dan akhirnya mereka bertemu dengan seorang hamba Allah, yang shaleh itu.
Banyak ulama yang cenderung memahami bahwa pertemuan kedua tokoh tersebut terjadi di pantai Ra’sul Bar ini, kata guide kita.
Allah Ta’ala menceritakan kisah kedua tokoh itu dalam surat Al-Kahfi ayat 66 -82, yang artinya : “Musa berkata kepadanya (yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus dari Allah). “Bolekah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh, supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran? Dia menjawab “sesungguhnya engkau hai Musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku”.
Orang Shaleh itu berkata, "Kamu tidak akan sabar menemani aku." Bagaimana kamu bisa bersabar terhadap sesuatu yang kamu belum punya ilmu tentangnya?" katanya melanjutkan.
Musa menjawab, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sabar dan patuh pada perintahmu." Hamba shaleh itu berkata lagi, "Kalau kamu mengikuti aku, lalu melihat sesuatu yang tidak kau sukai, jangan bertanya tentang hal itu sebelum aku sendiri menjelaskannya kepadamu."
Mereka pun berjalan di tepian pantai, lalu menemukan sebuah perahu dan menaikinya. Tetapi hamba itu lalu mencederai perahu itu, di tengah perjalanan. Musa tidak dapat menerima kelakuan itu, lalu memprotesnya “Apakah kamu sengaja membocorkan perahu ini untuk menenggelamkan penumpang- penumpangnya? Jika demikian, kamu benar-benar telah melakukan sesuatu yang tak layak”.
Hamba shaleh itu menjawab, "Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan sabar mengikuti aku. Musa berkata, "Maafkanlah aku atas kelalaianku terhadap pesan-pesanmu tadi. Janganlah kamu bebani aku dengan kesulitan dan kesusahpayahan dalam menerima ilmu darimu."
Setelah mereka keluar dari perahu itu dan melanjutkan perjalanan, di tengah perjalanan mereka menemui seorang anak kecil. Hamba shaleh itu pun kemudian membunuh anak kecil itu. Musa berkata dengan menunjukkan sikap tidak menerima, "Apakah kamu membunuh nyawa yang bersih dan tidak berdosa dan tidak pernah melakukan pembunuhan? Sungguh kamu telah melakukan sesuatu yang tidak dapat diterima
Hamba shaleh itu berkata lagi, "Bukankah telah aku katakan bahwa kamu tidak akan sabar untuk diam dan tidak bertanya?" Musa menjawab, "Kalau aku masih bertanya lagi setelah ini nanti, tinggalkanlah aku. Jangan kau temani aku. Kamu telah sampai pada batas alasan boleh meninggalkan aku.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan sampai tiba di sebuah perkampungan. Di sana mereka kehabisan bekal dan lapar, sehingga meminta makan dari penduduk setempat, tetapi para penduduk enggan memenuhi permintaan mereka. Mereka pun terus berjalan sampai menemukan sebuah dinding yang condong dan hampir runtuh. Hamba shaleh itu pun kemudian menopangnya dan menegakkannya kembali. Musa berkata, "Kalau kamu mau, tentu kamu dapat meminta upah atas perbuatanmu itu.
Telah 3 kali nabi Musa as melakukan pelanggaran, kini cukup sudah alasan bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan karena itu"
Hamba Allah itupun berkata "Nampaknya, sikap tidak sabar dan tidak bisa menerima darimu yang terus-menerus itu menyebabkan kita harus berpisah. Kini akan kuceritakan kepadamu hikmah di balik tingkah lakuku yang tidak kau ketahui dan membuatmu tidak sabar untuk mengetahui rahasia sebenarnya".
1. "Perahu yang aku cederai itu" kata sang hamba menerangkan, "adalah milik orang lemah dan miskin yang mereka gunakan untuk bekerja di laut mencari rezeki. Aku ingin memperlihatkan bahwa kapal itu tidak bagus, karena di belakang mereka ada raja yang selalu merampas setiap kapal yang bagus.
2. Sedangkan anak kecil yang aku bunuh itu," katanya melanjutkan, "adalah anak dari sepasang suami istri yang mukmin. Aku tahu, bahwa jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa, ia akan kafir, durhaka dan menyengsarakan kedua orangtuanya. Dengan membunuhnya tadi, aku bermaksud agar Allah memberi ganti dengan anak yang lebih baik, lebih berbakti dan lebih sayang."
3. Sedangkan dinding yang aku tegakkan dengan tidak mengharap upah, masih kata hamba shaleh tadi melanjutkan, "adalah milik dua anak yatim dari penduduk kota itu. Di bawah dinding itu terdapat harta simpanan yang ditinggalkan ayah mereka untuk mereka berdua. Ayah mereka adalah seorang yang shaleh. Karena itu Allah ingin memelihara harta simpanan untuk kedua anak itu sampai mereka dewasa dan membutuhkannya, sebagai rahmat kepada keduanya dan penghormatan kepada ayah mereka melalui keturunannya.
“Apa yang telah aku lakukan itu bukanlah berdasarkan kemauanku, tapi atas dasar perintah Allah. Dan inilah penjelasan tentang hal-hal yang masih tersembunyi bagimu, wahai Musa, yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya.
Di antara hikmah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah tidak patut jika kita merasa paling berilmu. Lantaran sikap seperti itu nabi Musa as mendapat tegoran dari Allah dan diperintahkan untuk belajar lagi, dari orang lain, yang membuktikan adanya orang lain yang lebih dalam ilmunya.
Kegigihan dalam mengejar ilmu sebagaimana yang dimiliki nabi Musa juga perlu kita teladani. Meskipun berstatus nabi beliau juga masih tetap semangat untuk belajar dan memperdalam ilmunya. Meskipun pada proses belajarnya nabi Musa dinyatakan tidak lulus, namun pada ujungnya beliau memperoleh penjelasan dan rahasia tentang hal-hal yang semula belum dipahaminya.
Kesabaran dalam mengajarkan sesuatu, juga patut untuk dilatih. Umumnya seseorang merasa jengkel jika muridnya tidak segera menuruti petunjuknya apalagi melanggar aturan yang ditetapkannya. Dalam kisah ini seorang hamba shaleh dengan ikhlas dan sabar memberikan penjelasan tentang rahasia atau hikmah dari pelajaran yang ingin disampaikan kepada sang murid yang tidak bisa lagi sabar mengikuti proses yang dilakukan.
Masih banyak uraian ustad Aep Saipulloh sepanjang perjalanan Cairo Dimyat Cairo. Sebuah perjalanan yang banyak memberi pengetahuan dan juga menanamkan hikmah yang sangat dalam. Di Ra’sul Bar ibu-ibu tidak lupa mengabadikan panorama keajaiban lokasi kisah bersejarah, sekaligus mengabadikan suasana kebersamaan yang indah nan ceria. Di ujung sungan Nil ini pula terbayang betapa panjangnya perjalanan sungai ini, setelah melintasi beberapa Negara Afrika sebelum negeri Mesir ini.***